Di mana letak bahagiaku menjadi seorang guru? Bagiku, jawabannya sederhana: Menjadi guru adalah jalan setapak menuju kebahagiaan itu sendiri.
Tujuh belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Namun, ada satu keajaiban kecil yang selalu berulang: setiap pagi saat kaki ini melangkah keluar rumah, hati ini selalu berbisik melantunkan niat baru. "Mau apa hari ini, Bu Guru?"
Lalu aku tersenyum, menarik napas dalam, dan membatin, "Bismillah, semoga bisa mengajar dengan baik hari ini. Semoga ilmu yang disemai akan bermanfaat."
Ya, setiap hari aku merasa seperti petani yang berangkat ke ladang. Aku menyemai benih ilmu, memupuknya di pertemuan berikutnya, menyiangi rumputnya, dan mendoakan agar apa yang kutanam tumbuh subur kelak.
Tentu saja, ladang ini tidak selalu tenang. Hehe, kalau semua murid tertib, rapi, aktif, dan tugas selalu selesai tepat waktu... mungkin jadi guru itu tidak seru, ya?
Serunya itu justru saat kesabaranku diuji. Ada yang duduknya ndlosor, cerita sendiri, melamun, atau tugas yang di-skip-skip dan baru dikerjakan kalau ditagih. Duh, inilah tugas besar seorang guru yang kadang menguras tenaga dan emosi.
Seringkali aku merenung, aku tidak pernah tahu di bagian kata yang mana saat aku mengajar yang benar-benar menyentuh hati mereka. Aku tidak tahu kalimat mana yang akhirnya mereka ambil sisi baiknya, lalu mereka kerjakan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, aku terus berbicara di depan kelas, karena mungkin itulah yang disebut ilmu yang bermanfaat—ia bekerja dengan cara yang misterius, tumbuh diam-diam di hati murid tanpa gurunya menyadari.
Dan buah manis dari itu semua? Sungguh, bahagiaku sederhana.
Bahagia itu hadir saat masih ada murid yang WA menanyakan kabar, menanyakan suatu tips, atau bahkan mengajak olahraga bareng. Itu juga kebahagiaan yang hangat untuk guru.
Bahagia itu juga membuncah saat berpapasan di jalan, lalu kulihat mereka berbisik pada temannya, "Eh, itu beliau guruku," kemudian datang menghampiri, "Bu Guru..."
Di sapaan itulah aku tahu, bahwa jejakku di ladang ini tidak sia-sia.
Hari ini pun aku tetap sangat bersyukur dan berbahagia bersama mereka, seperti saat-saat pertama aku berdiri di depan kelas, tujuh belas tahun yang lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar